Cari Blog Ini

Senin, 16 Februari 2015

Tenggelamnya Kapal Van der Wijck: Kutipan, Surat, dan Cinta

Bagi yang sudah menonton film atau membaca buku “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” tentu memberikan kesan tersendiri terhadap cerita tersebut. Film “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” diangkat dari novel legendaris mahakarya Buya Hamka terbitan 1938. Novel ini mengisahkan persoalan adat yang berlaku di Minangkabau dan perbedaan latar belakang sosial. Kisah cinta abadi Zainuddin dan Hayati meskipun keduanya tidak hidup bersama lagi karena Hayati meninggal bersama dengan tenggelamnya kapal Van der Wijck.


Di sini saya bukan mengulas persoalan adat atau film tersebut melainkan dialog dan surat yang diterima oleh Hayati. Jika menjadi Hayati, tentu kita akan sulit memilih. Hayati mencintai Zainuddin namun cintanya tidak bisa dipertahankan karena persoalan adat sehingga menerima pinangan Aziz. Ada dialog yang Zainuddin yang cukup menguras emosi, seperti berikut.

“Kau yang sanggup menjadikan saya seorang yang gagah berani. Kau pula yang sanggup menjadikan saya sengsara selamanya.”
“Demikianlah perempuan. Dia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil. dan dia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya.”



Sayangnya, Aziz bukanlah lelaki yang baik. Kesulitan ekonomi, belitan hutang, membuat Aziz harus menceraikan Hayati. Setelah menceraikan Hayati, Aziz menitipkannya kepada Zainuddin. Namun Zainuddin sudah terlanjut kecewa sehingga tidak bisa menerima Hayati lagi meskipun dirinya masih mencintai Hayati.

Diceritakan bahwa Hayati mengirimkan surat kepada Zainuddin dan menerima surat dari Aziz. Hayati memberikan surat kepada Zainuddin saat memutuskan untuk berpisah karena sudah menerima pinangan dari Aziz. Surat kedua dari Aziz kepada Hayati berisi surat cerai. Kedua surat tersebut sangat indah, mulai dari kata-katanya sampai penyampaian isi surat tersebut.

Surat Putus Cinta dari Hayati kepada Zainuddin
Tuan yang terhormat!
Tak dapat saya sembunyikan kepada Tuan, malah saya akui terus terang bahwasanya seketika membaca surat-surat Tuan itu, saya menangis tersedu-sedu, karena tidak tahan hati saya.
Tetapi setelah reda gelora dan ombak hati yang dibangkitkan oleh surat Tuan itu, timbullah kembali keinsafan saya, bahwa tangis itu hanyalah tangis orang-orang yang putus asa, tangis orang yang maksudnya terhalang dan kehendaknya tidak tercapai. Tangis dan kesedihan itu selamanya mesti reda juga, ibarat hujan; selebat-lebat hujan, akhirnya akan teduh jua.
Kita akan sama-sama menangis buat sementara waktu, laksana tangis anak-anak yang baru keluar dari perut ibunya. Nanti bilama dia telah sampai ke dunia, dia akan insaf bahwa dia pindah dari alam yang sempit ke dalam alam yang lebih lebar. Kelak Tuan akan merasai sendiri, bahwa hidup yang begini telah dipilihkan Allah buat kebahagiaan Tuan. Allah telah sediakan hidup yang lebih beruntung dan lebih murni untuk kemaslahatan Tuan di belakang hari.
Tuan kan tahu bahwa saya seorang gadis yang miskin dan Tuan pun hidup dalam melarat pula, tak mempunyai persediaan yang cukup untuk menegakkan rumah tangga. Maka lebih baik kita singkirkan perasaan kita, kembali kepada pertimbangan. Lebih baik kita berpisah, dan kita turutkan perjalanan hidup masing-masing menurut timbangan kita, mana yang lebih bermanfaat buat di hari nanti. Saya pun merasai sebagai yang Tuan rasakan, yaitu kesedihan menerima vonis itu. Tetapi Tuan harus insaf, sudah terlalu lama kita mengangan-angan barang yang mustahil, baik saya maupun Tuan.
Tuan pilih sajalah seorang istri yang lebih cantik dan lebih kaya dari pada saya, dan marilah kita tinggal bersahabat buat selamanya. Kepada Aziz tak usah Tuan kecil hati, dia tak salah dalam perkara ini. Tetapi sayalah yang telah mengambil putusan yang tetap buat bersuami dia; lawan saya musyawarah ialah hati saya sendiri, sehingga saya terima tawaran ninik mamak saya.
Dan saya harap Tuan lupakanlah segala hal yang telah berlalu, maafkan segala kesalahan dan keteledoran saya, sama kita pandang hal yang dahulu seakan-akan tidak ada saja.
Hayati


Surat Cerai dari Aziz kepada Hayati
Adinda Hayati!
Hampir dua tahun kita bergaul. Hampir dua tahun kau menuruti aliran hidup saya yang sial, yang penuh dengan dosa, penuh dengan tangan yang kotor. Hanya semata-mata lantaran menurutkan nafsu muda saya. Kau suruh saya mengerjakan ibadat kepada Tuhan, untuk menebus kesalahan di zaman remaja, hanya sebulan dua dapat kukerjakan. Dasar kotor, kianlama seruan kekotoran itu kedengeran oleh telingaku kembali. Saya kecewakan hatimu, saya habiskan gaji dari pendapatanku untuk melepaskan nafsu angkara murkaku.
Saya tahu, kerap kali kau meratapi untung lantaran bersuami saya. Kerap kali kau kumaki, kucela, kupikulkan ke atas pundakmu kesalahan-kesalahan yang sebenernya mesti saya sendiri memikul.
Hayati! Berhentilah lakon kesedihanmu hingga ini! Ketahuilah bahwa suamimu kau Aziz telah insaf akan salahnya. Dan keinsafan itu akan ditebusnya. Pinang akan disurutkannya ke tampuk, sirih akan dipulangkannya ke gagang.
Sengaja saya menyingkirkan diri, supaya jangan kau ingat juga kecantikanmu dan kemudaanmu yang telah hilang percuma lantaran kurampas. Maka sebelum masanya lepas dan penyesalan timbul, semasa tunas angan-anganmu masih bisa tumbuh kembali, saya menyingkir pergi.
Saya akan memberikan hukuman kepada anak muda yang sekejam itu, yang mengecewakan perjalanan hidup seorang pujangga, mematahkan pengharapan seorang gadis, hanya dengan pengaruh uang dan turunannya, padahal dirinya sendiri hanya seorang rendah dalam segala perkara.
Hapuskanlah segala kesedihan yang telah terlukis di keningmu. Kembalikanlah senyumanmu yang manis, hiduplah kembali dengan gembira, habiskanlah segala remuk kedukaan yang telah timbul di dirimu hampir dua tahun lamanya, lantaran saya.
Maka sesampai surat ini, lantaran kau kuambil dahulunya dengan nikah yang sah menurut agama, sekarang kau kulepaskan pula dengan sah menurut agama. Sesampai surat ini ke tangan Adinda, jatuhlah talakku kepadamu satu kali.
Meskipun setelah perkataan itu keluar dari mulutku kau bukan istriku lagi, namun saya masih berani memohonkan kepada kau atas nama seorang yang telah hampir dua tahun bergaul dengan dikau, yakni jika idahmu sampai, janganlah kau kembali ke Padang, tetapi tinggallah dengan Zainuddin, kalau dia masih suka menerima kau jadi istrinya.
Hanya sekedar inilah suratku. Inilah hanya korban yang dapat kuberikan, untuk pembalas budi baik Zainuddin, yang telah membahas segala kejahatan saya dengan kebaikan sekian lama.
Dan jika sekiranya kau menerima kabar apa-apa tentang diriku yang tak baik, tolong maafkanlah segala kesalahanku selama kau jadi istriku, dan tolong pula kiranya, hai perempuan yang baik budi, membacakan doa-doa permohonan selamat untuk diri makhluk yang malang ini.
Bekas suamimu,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar